Red Square Melaka: Menyusuri Jejak Sejarah dalam Balutan Warna Merah
3 mins read

Red Square Melaka: Menyusuri Jejak Sejarah dalam Balutan Warna Merah

Welcome to Melaka

Melaka, kota tua yang terletak di pesisir barat daya Semenanjung Malaysia, adalah tempat di mana sejarah dan budaya berpadu dalam harmoni yang memesona. Di jantung kota ini berdiri sebuah kawasan ikonik yang dikenal sebagai Red Square atau Dutch Square—sebuah ruang publik yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga mengajak kita menyelami masa lalu yang kaya dan penuh warna.

Langkah Pertama: Disambut Warna Merah dan Sejarah yang Hidup

Begitu saya melangkah ke Red Square, saya seperti dibawa ke masa lalu. Deretan bangunan kolonial berwarna merah bata menyambut dengan megah, menciptakan suasana yang unik dan fotogenik. Warna merah ini bukanlah warna asli bangunan; dulunya bangunan-bangunan ini dicat putih oleh Belanda, namun pada awal abad ke-20, Inggris mengecatnya merah untuk melindungi dinding dari cuaca tropis dan memberi identitas visual yang kuat .

Stadthuys: Simbol Kekuasaan dan Warisan Budaya

Bangunan paling mencolok di Red Square adalah Stadthuys, yang dibangun oleh Belanda antara tahun 1641 hingga 1660 di atas reruntuhan benteng Portugis . Nama “Stadthuys” berarti “balai kota” dalam bahasa Belanda. Dahulu, bangunan ini menjadi pusat pemerintahan kolonial dan tempat tinggal resmi gubernur Belanda. Kini, Stadthuys telah bertransformasi menjadi Museum Sejarah dan Etnografi, yang menampilkan artefak dari berbagai komunitas di Melaka—Melayu, Cina, India, Portugis, Baba-Nyonya, Chetti, dan Chitty. Di dalam museum, saya menemukan koleksi pakaian pengantin tradisional, alat musik, peralatan dapur kuno, hingga mata uang dan perangko zaman kolonial. Setiap ruangan seperti membuka lembaran baru dari kisah panjang Melaka.

Christ Church: Gereja Merah yang Menyentuh Jiwa

Tepat di sebelah Stadthuys berdiri Christ Church Melaka, gereja Protestan tertua di Malaysia yang masih aktif digunakan hingga kini. Dibangun pada tahun 1753 untuk memperingati seabad pendudukan Belanda, gereja ini memiliki arsitektur khas Belanda dengan dinding merah bata, salib putih besar, dan bangku kayu yang diukir tangan. Meskipun saya tidak masuk ke dalam, berdiri di depannya saja sudah cukup membuat saya terkesima. Gereja ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol kemenangan dan spiritualitas yang bertahan melintasi zaman.

Menara Jam Tang Beng Swee dan Air Mancur Victoria

Di tengah-tengah Red Square berdiri Menara Jam Tang Beng Swee, dibangun pada tahun 1886 oleh Tan Jiak Kim untuk menghormati ayahnya, seorang dermawan Tionghoa. Menara ini menjadi titik temu favorit wisatawan dan latar foto yang ikonik. Tak jauh dari situ, terdapat Air Mancur Victoria, dibangun oleh Inggris pada tahun 1901 untuk memperingati Ratu Victoria. Air mancur ini masih berfungsi hingga kini dan menjadi simbol kehadiran Inggris di Melaka setelah era Belanda.

Refleksi dan Rasa Syukur

Kunjungan ke Red Square Melaka bukan hanya tentang melihat bangunan tua, tetapi juga tentang merasakan denyut kehidupan masa lalu yang masih berdetak hingga kini. Saya merasa beruntung bisa menyaksikan langsung bagaimana sejarah dan budaya berpadu dalam harmoni yang indah. Bagi siapa pun yang ingin merasakan denyut sejarah Asia Tenggara, Red Square Melaka adalah destinasi yang wajib dikunjungi. Di sana, tidak hanya akan menemukan bangunan merah yang indah, tetapi juga cerita-cerita yang akan tinggal lama dalam ingatan.

One thought on “Red Square Melaka: Menyusuri Jejak Sejarah dalam Balutan Warna Merah

  1. I got what you mean , thanks for posting.Woh I am glad to find this website through google. “You must pray that the way be long, full of adventures and experiences.” by Constantine Peter Cavafy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *